Rabu, 14 Desember 2011

kisah al-imam Bukhara

IMAM BUKHARI, Cahaya dari Bukhara

Makam Al Imam Bukhari Ra

Amirul Mukminin fil Hadits, gelar itu didaulatkan para ulama kepada ahli hadis dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Tak salah bila ulama besar di abad ke-9 M ini ditabalkan sebagai ‘Pemimpin Kaum Mukmin dalam Ilmu Hadis’. Betapa tidak, hampir seluruh ulama merujuk kitab kumpulan hadis sahih yang disusunnya.



Para ulama juga bersepakat, Al Jami’ as Sahih atau Sahih Al Bukhari—kumpulan hadis sahih sebagai kitab paling otentik setelah Alquran. Sahih Al Bukhari yang disusun ulama legendaris asal ‘kota lautan pengetahuan’—Bukhara—itu juga diya kini kalangan ulama Sunni sebagai literatur hadis yang paling afdol.

Sang ulama fenomenal itu mendedikasikan hidupnya untuk menyeleksi secara ketat ratusan ribu hadis yang telah dihafalnya sejak kecil. Karyanya yang sangat monumental itu bak cahaya yang telah menerangi perjalanan hidup umat Islam. Ribuan hadis sahih telah dipilihnya menjadi pedoman hidup umat Islam, sesudah Alquran.

Ulama besar dan ahli hadis nomor wahid ini memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mughirah Ibnu Bardizbah Al Bukhari. Ia lebih dikenal dengan nama tanah kelahirannya, Bukhara. Dan, masyarakat Muslim pun biasa memanggilnya Imam Bukhari.

Pemimpin kaum Mukminin dalam ilmu hadis itu terlahir pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H, bertepatan dengan 20 Juli 810 M. Sejak kecil, Imam Bukhari hidup dalam keprihatinan. Alkisah, ketika terlahir ke dunia, Bukhari cilik tak bisa melihat alias buta. Sang bunda tak putus dan tak tak pernah berhenti berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesembuhan penglihatan putranya.

Sang Khalik pun mengabulkan doadoa yang selalu dipanjatkan ibu Imam Bukhari. Secara menakjubkan, ketika menginjak usia 10 tahun, penglihatan bocah yang kelak menjadi ulama terpandang itu kembali normal. Imam Bukhari sudah akrab dengan ilmu hadis sejak masih belia. Sang ayah, Ismail Ibnu Ibrahim, juga seorang ahli hadis yang terpandang.

Ismail merupakan salah seorang murid ulama terpandang, Hammad ibnu Zaid dan Imam Malik. Sang ayah tutup usia saat Imam Bukhari masih belia. Meski hidup sebagai seorang anak yatim yang serba pas-pasan, Bukhari cilik tak pernah putus asa. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, tanpa merisaukan masalah keuangan.

Ilmu hadis telah membetot perhatiannya sejak kecil. Selain belajar Alquran dan pelajaran penting lainnya, ilmu hadis adalah favoritnya. Sejak penglihatannya menjadi normal, dia sudah membaca karya-karya atau kitab hadis yang ada. Bahkan, menginjak usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal karya-karya Waki dan Abdullah Ibnu Al Mubarak.

‘’Sekali saja ia membaca buku, dia sudah hafall isinya,’‘ papar Ibnu Katheer yang terkagum-kagum dengan daya ingat sang ahli hadis. Daya ingat dan kecepatannya dalam menghafal sungguh tiada dua pada zamannya. Kekuatan intelektualnya sungguh sangat memukau dan menakjubkan.

Pada usia 10 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal 70 ribu hadis. Tanpa bermaksud jemawa, Imam Bukhari sempat berkata, ‘’Saya hafal seratus ribu hadis sahih dan saya juga hafal dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.’‘ Ia tak cuma mampu menghafal ratusan ribu hadis, namun juga mampu menyebutkan sanad dari setiap hadis yang diingatnya.

‘’Dia diciptakan Allah SWT seolaholah hanya untuk hadis,’‘ tutur Muhammad bin Abi Hatim mengutip perkataan Abu Ammar Al Husein bin Harits yang terkagum-kagum dengan daya ingat dan kecerdasan Imam Bukhari. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menilai, Imam Bukhari sebagai manusia di muka bumi yang paling kuat ingatannya dalam menghafal hadis.

Menginjak usia 16 tahun, Imam Bukahri bersama ibu dan saudaranya pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Perjalanan pertamanya ke Semenanjung Arab itu dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu hadis. Imam Bukhari pun berkelana dari satu kota pusat pengetahuan ke kota lainnya. Di setiap kota, ia berdiskusi dan bertukar informasi tentang hadis dengan para ulama.

Imam Bukhari sempat menetap di sejumlah kota pusat intelektual Muslim, seperti Basrah, Hijaz, Mesir, Kufah, dan Baghdad. Ketika tiba di kota Basrah, penguasa kota itu menyambut dan mendaulatnya untuk mengajar. Kedatangannya di Baghdad—ibu kota pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah—juga mendapat perhatian dari para ulama dan petinggi kota itu.

Sepuluh ulama hadis di kota itu pun mencoba menguji kemampuan dan daya ingatnya dalam menghafal sabda Rasulullah SAW. Para ulama itu lalu menukarkan sanad dari ratusan hadis. Dalam sebuah pertemuan, para ulama itu lalu menanyakan hadis-hadis yang telah ditukar-tukar sanad-nya itu.

Namun, Imam Bukhari mengaku tak mengenal hadis yang ditanyakan para ulama Baghdad itu. Lalu, ia membacakan hadis-hadis itu dengan sanad yang benar. Para ulama Baghdad pun terkagum-kagum dengan kecerdasan dan ketelitian sang ahli hadis. Ujian serupa juga dilakukan para ulama di berbagai kota yang disinggahinya. Dan, ujian itu berhasil dilaluinya dengan baik.

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan mengatur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya. Demi memurnikan dan mencapai hadis-hadis yang paling otentik dan sahih, ia berkelana ke hampir seluruh dunia Islam, seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, serta Irak.

Dengan penuh kesabaran, ia mencari dan menemui para periwayat atau perawi hadis dan mendengar langsung dari mereka. Tak kurang dari 1.000 perawi hadis ditemuinya. Hingga kahirnya, Imam Bukahri menguasai hampir lebih dari 600 ribu hadis, baik yang sahih maupun dhaif. Perjalanan mencari dan menemukan serta membuktikan kesahihan hadis-hadis itu dilakukannya selama 16 tahun.

Setelah sekian lama mengembara, ia lalu kembali ke Bukhara dan merampungkan penysunan kitab yang berisi kumpulan hadis sahih berjudul Al Jami’ Al Sahih. Kitab hadis yang menjadi rujukan para ulama itu berisi 7.275 hadis sahih. Pada usia 54 tahun, dia berkunjung ke Nishapur, sebuah kota di Asia Tengah. Di kota itu, Imam Bukhari diminta untuk mengajar hadis. Salah seorang muridnya adalah Imam Muslim yang juga terkenal dengan kitabnya Sahih Muslim.

Imam Bukhari lalu hijrah ke Khartank, sebuah kampung di dekat Bukhara. Para penduduk desa memintanya untuk tinggal di tempat itu. Imam Bukhari pun tinggal di Desa Khartank hingga tutup usia pada usia 62 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 256 H/ 870 M. Meski telah meninggal 13 belas abad yang lalu, namun cahaya dari Bukhara itu tak pernah padam dan terus menerangi kehidupan umat Muslim.


Karya Besar Sang Ulama
Imam Bukhari tak hanya dikenal sebagai ahli hadis. Sebagai ilmuwan yang produktif, ia juga menulis kitab tafsir, fikih, dan sejarah. Berikut ini adalah beberapa karya besar sang ulama setelah Sahih Al Bukhari.

  • Tarikh Al Kabir
  • Khalq A’fal Ebad
  • Kitab Al Wahidan
  • Kitab Adab Al Mufrad
  • Kitab Adh Dhua’fa
  • Juz Raf Al Yadain
  • Juz Al Quraa Khalf Al Imam
  • Jami’a Al Kabir
  • afseer Al Kabir
  • Kitaab Al Ilal
  • Kitaab Al Manaaqib
  • Asami As-Sahabah


Kitab Shahih Bukhari


Metode Seleksi Hadis Ala Imam Bukhari
Imam Bukhari pantas disebut sebagai ilmuwan dan ulama yang profesional. Betapa tidak. Dalam meneliti, menyeleksi, serta menetapkan hadis sahih dari ratusan ribu hadis yang dihafalnya, Imam Bukhari melakukannya dengan sangat hati-hati. Untuk mendapatkan akurasi, ia melakukan perjalanan ke negaranegara Islam dengan menemui hampir 1.000 perawi hadis. Secara sabar, ia mendengarkan para perawi itu.
‘’Saya susun kitab Al Jami `Ash Shahihini di Masjidil Haram, Makkah, dan saya tidak mencantumkan sebuah hadis pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah SWT, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis itu benar-benar shahih,’‘ ujar Al-Finbari, salah seorang murid Imam Bukhari, mengutip pernyataan gurunya.
Di masjid bersejarah itulah, Imam Bukhari mulai menyusun buku kumpulan hadisnya yang sangat monumental. Dasar pemikiran dan bab demi bab Sahih Al-Bukahri disusunnya secara sitematis di Masjidil Haram. Sedangkan, pembukaan serta pokok-pokok bahasannya ditulisnya di Rawdah Al Jannah—sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi, Madinah.
Pengumpulan, seleksi, dan penempatan hadis sahih dalam kitab Sahih Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan modern sehingga hadishadisnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan hadis yang benar-benar otentik, secara serius Imam Bukhari meneliti dan menyelidiki para perawai-nya.
Tak cuma itu, Imam Bukhari pun melaku perbandingan hadis. Satu hadis dengan hadis lain dibandingkan. Ia lalu menguji dan mempertimbangkannya secara ilmiah untuk memutuskan mana yang paling sahih. Keontetikan hadis yang disusun Imam Bukhari sudah sangat terbukti dan teruji.
Para ulama sepakat, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Al Jami `ash Shahihmemiliki tingkat kesahihan yang paling utama. Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari dalam melacak dan meneliti kesahihan sebuah hadis tak lepas dari bimbingan para gurunya. Beberapa ulama yang berpengaruh dalam kehidupan keilmuwan sang legendaris itu antara lain: Dhihaak Ibnu Mukhlid; Makkee Ibnu Ibraheem Khadhalee; Ubaidullah Ibnu Moosaa Abasa; Abdul Quddoos Ibnu Hajjaaj; dan Muhammad Ibnu Abdullaah Ansaaree.
Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari juga menetes pada murid-muridnya. Begitu banyak muridnya yang menjadi ahli ilmu hadis yang terkenal dan terkemuka. Mereka adalah Turmudzi, Imam Muslim, Nasa’i, Ibrahim Ibnu Ishaq Al Harawi, Muhammad Ibnu Ahmad Ibn Dulabi, dan Mansur Ibnui Muhammad Bazduri.

Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
diambil dari : http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm

Senin, 12 Desember 2011

Keutamaan bulan Muharam


Keutamaan Bulan Muharram

Muharram adalah bulan di mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan.
Muharram menjadi salah satu dari empat bulan suci yang tersebut dalam Al-Quran. "Jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, tersebut dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara kedua belas bulan itu ada empat bulan yang disucikan." Keempat bulan itu adalah, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Semua ahli tafsir Al-Quran sepakat dengan hal ini karena Rasululullah Saw dalam haji kesempatan haji terakhirnya mendeklarasikan, "Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan suci. Tiga di antaranya berurutan yaitu Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan ke empat adalah bulan Rajab." Selain keempat bulan khusus itu, bukan berarti bulan-bulan lainnya tidak memiliki keutamaan, karena masih ada bulan Ramadhan yang diakui sebagai bulan paling suci dalam satu satu tahun. Keempat bulan tersebut secara khusus disebut bulan-bulan yang disucikan karena ada alasan-alasan khusus pula, bahkan para penganut paganisme di Makkah mengakui keempat bulan tersebut disucikan. Pada dasarnya setiap bulan adalah sama satu dengan yang lainnya dan tidak ada perbedaan dalam kesuciannya dibandingkan dengan bulan- bulan lain. Ketika Allah Swt memilih bulan khusus untuk menurunkan rahmatnya, maka Allah Swt lah yang memiliki kebesaran itu atas kehendakNya.
 Keutamaan Bulan Muharram Nabi Muhammad Saw bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram." Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari 'Asyura. Ibnu Abbas mengatakan, ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau menjumpai orang- orang Yahudi di Madinah biasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Menurut orang-orang Yahudi itu, tanggal 10 Muharram bertepatan dengan hari ketika Nabi Musa dan pengikutnya diselamatkan dari kejaran bala tentara Firaun dengan melewati Laut Merah, sementara Firaun dan tentaranya tewas tenggelam. Mendengar hal ini, Nabi Muhammad Saw mengatakan, "Kami lebih dekat hubungannya dengan Musa daripada kalian" dan langsung menyarankan agar umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura. Bahkan dalam sejumlah tradisi umat Islam, pada awalnya berpuasa pada hari 'Asyura diwajibkan. Kemudian, puasa bulan Ramadhan-lah yang diwajibkan sementara puasa pada hari 'Asyura disunahkan. Dikisahkan bahwa Aisyah mengatakan, "Ketika Rasullullah tiba di Madinah, ia berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Tapi ketika puasa bulan Ramadhan menjadi puasa wajib, kewajiban berpuasa itu dibatasi pada bulan Ramadhan saja dan kewajiban puasa pada hari 'Asyura dihilangkan. Umat Islam boleh berpuasa pada hari itu jika dia mau atau boleh juga tidak berpuasa, jika ia mau." Namun, Rasulullah Saw biasa berpuasa pada hari 'Asyura bahkan setelah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan. Abdullah Ibn Mas'ud mengatakan, "Nabi Muhammad lebih memilih berpuasa pada hari 'Asyura dibandingkan hari lainnya dan lebih memilih berpuasa Ramadhan dibandingkan puasa 'Asyura." (HR Bukhari dan Muslim). Pendek kata, disebutkan dalam sejumlah hadist bahwa puasa di hari 'Asyura hukumnya sunnah. Beberapa hadits menyarankan agar puasa hari 'Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari 'Asyura. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad Saw, orang Yahudi hanya berpuasa pada hari 'Asyura saja dan Rasulullah ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu ia menyarankan umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura ditambah puasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya (tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram). Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadist, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu boleh dilakukan. Legenda dan Mitos Hari 'Asyura Meski demikian banyak legenda dari salah pengertian yang terjadi di kalangan umat Islam menyangkut hari 'Asyura, meskipun tidak ada sumber otentiknya dalam Islam.
menurut riwayat ternyata di bulan muharram terjadi kejadian-kejadian bersejarah yang berkaitan dengan kisah-kisah para nabi. kejadian-kejadian itu antara lain:
  1. taubat nabi adam diterima oleh Allah
  2. nabi idris diangkat ke langit
  3. bahtera nabi nuh berlabuh setelah peristiwa banjir
  4. nabi ibrahim dilahirkan, diangkat menjadi rasul, dan diselamatkan dari api
  5. nabi ya’qub dikembalikan penglihatannya
  6. nabi yusuf dikeluarkan dari penjara
  7. nabi musa diselamatkan dari kejaran fir’aun dengan melintasi laut merah yang terbelah
  8. nabi daud diterima taubatnya oleh Allah
  9. kembalinya anugrah kerajaan nabi sulaiman
  10. nabi ayyub diuji dengan penyakit, lalu disembuhkan
  11. nabi yunus keluar dari perut ikan
  12. nabi isa diselamatkan (di angkat) dari kejaran orang-orang yang ingin menyalibnya
ahli kitab seperti yahudi malah menjadikan tanggal 10 muharram sebagai hari besar dan mereka berpuasa sebagai peringatan kisah nabi musa. berkenaan dengan masalah syariat ini, umat islam disunnahkan berpuasa pada bulan muharram. puasa ini dikenal sebagai puasa tasu’a (9 muharram) dan puasa asyura (10 muharram).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.” [HR Muslim, Abu Daud]
Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, beliau menjawab: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa2 kecil pada tahun kemarin.” [HR Muslim]
Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan pertumpahan darah. Seperti sudah disinggung di atas, bahwa bulan Muharram banyak memiliki keistimewaan. Khususnya pada tanggal 10 Muharram. Beberapa kemuliaan tanggal 10 Muharram antara lain Allah Swt akan mengampuni dosa- dosa setahun sebelumnya dan setahun ke depan. (Tarmizi)

Minggu, 11 Desember 2011


 

 

 

 

 

Sirah Nabawiyah(5),Menyendiri Di Gua Hira’

Ikhtila’ (Menyendiri) Di Gua Hira’
Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan ikhtila’ (menyendiri) di gua Hira’ (Hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam. Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Kemudian beliau kembali ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan Ikhtila’-nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi saw terus melakukannya sampai turun wahyu kepadanya ketika beliau sedang melakukan ‘uzlah.
Permulaan Wahyu
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata :
“Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwah (‘uzlah). Beliau melakukan khalwah di gua Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’.
Pada suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata;“Bacalah“.
Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.“
Rasulullah saw menceritakan lebih lanjut;
“Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi; “Bacalah“
Aku menjawab; “Aku tidak dapat membaca“ .
Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi; “Bacalah“
Aku menjawab; “Aku tidak dapat membaca.“
Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi; “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan .. menciptakan manusia dari segumpal darah…“ dan seterusnya.
Siti Khadijah menjawab :”Tidak! Bergembiralah! Demi Allah sesungguhnya tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”
Rasulullah saw segera pulang daam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah lalu berkata; “Selimutilah aku … selimutilah aku ..“ Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa takutnya.
Setelah itu beliau berkata kepada Khadijah; “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?“ Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya.
Selanjutnya beliau berkata: “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin).”
Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah saw pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seroang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penghilatannya.
Kepadanya Khadijah berkata :
“Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak- lelaki saudaramu (yakni Muhammad saw)“.
Waraqah bertanya kepada Muhammad saw; “Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan ?“
Rasulullah saw , kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami di dalam gua Hira’.
Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw Waraqah berkata: “Itu adalah Malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”
Rasulullah saw bertanya; “Apakah mereka akan mengusir aku?“
Waraqah menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kaan kamu hadapi itu, psti kamu kubantu sekuat tenagaku.“ Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah saw tidak menerima wahyu.
Terjadi perselisihan tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat ialah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.
Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi meriwayatkan sebuah riwayat dariJjabir bin Abdillah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw berbicara tentang terhentinya wahyu.
Beliau berkata kepadaku: “Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Ketika kepala kuangkat , ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’, kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan kukakatan kepadanya, “ Selimutilah aku, selimutilah aku ….selimutilah aku ….! Sehubungan dengan itu Allah kemudian berfirman : “Hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri peringatan. Agungkanlah Rabb-mu , sucikanlah pakaianmu, dan jauhilah perbuatan dosa ….“ (Al-Muddatsir)
Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.
[Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press]